Jika kamu merasa musik, band legendaris, atau bahkan soundtrack era 90-an memenuhi feed media sosial kamu akhir-akhir ini, kamu tidak sendiri. Karena fenomena re-listening musik jadul era 90-an sedang memuncak di platform streaming global seperti Spotify dan Youtube Music. Ini menunjukkan bahwa adanya ketertarikan yang kuat pada musik yang memicu nostalgia.
Lantas, mengapa di tengah ramainya kemunculan musik-musik baru, kita justru memilih lagu-lagu lama yang usianya sudah lebih dari 2 dekade? Kamu akan menemukan jawabannya di artikel ini!
Faktor Psikologis

Nostalgia Bump adalah efek peningkatan memori emosional. Fenomena psikologis di mana orang dewasa cenderung memiliki ingatan yang lebih kuat. Sering muncul dari masa remaja akhir hingga awal dua puluhan (sekitar usia 16-30 tahun). Ini adalah puncak ingatan autobiografi yang muncul pada grafik ingatan seumur hidup, di antara masa kanak-kanak yang terlupakan menuju masa kini.
Faktor pemicu utama Nostalgia Bump adalah musik. Lagu-lagu yang produser rilis saat kita remaja tertanam pada memori di otak kita, pada masa itulah identitas pribadi dan emosi kita berkembang pesat. Mendengarkan lagu 90-an dapat secara instan menghidupkan kembali memori bahagia, aman, dan tanpa beban dari masa lalu.Efek inilah yang kita kenal sebagai Nostalgia Bump, yakni sensasi hangat, aman, dan nyaman yang otak cari saat ini.
Otak kita diprogram untuk menyukai yang familiar. Di tengah munculnya informasi baru dan stres harian, otak akan mencari jalur paling mudah dan menyenangkan. Musik lama mengandung keakraban dan prediktabilitas. Kamu tahu persis apa yang sedang kamu dengar, sehingga memberikan rasa kontrol dan ketenangan.
Faktor Sosiologis

Meskipun awalnya Gen X dan Millenials mendengar musik lama, Popularitasnya justru Gen Z perkuat. Bagi mereka, musik jadul adalah temuan yang menarik dan otentik. Melalui platform, seperti TikTok, pengguna menghidupkan kembali lagu-lagu lama sebagai soundtrack untuk meme, challenge, atau video aesthetic baru. Lagu vintage seketika membuat jutaan stream baru dari anak muda yang tertarik dengan estetika zaman dulu.
Banyak pendengar muda merasa bahwa musik di era 90-an dan 2000-an memiliki kualitas yang bagus dan berfokus pada vokal dan melodi, serta lirik yang lebih lugas jika mereka bandingkan dengan musik di era modern. Mereka menganggap musik lama lebih soulful, otetik, dan pastinya aesthetic.
Faktor Teknologi

Tanpa platform streaming, kebangkitan musik lama tidak akan terjadi secepat ini. Platform seperti Spotify sangat pintar dalam menciptakan playlist berdasarkan suasana hati atau dekade. Playlist populer seperti “Throwback Hits,” “Nostalgia Indonesia 2000s,” atau “90s Road Trip” memudahkan pendengar untuk mengakses gudang lagu lama secara instan tanpa perlu mencari kaset atau CD. Algoritma mengenali bahwa seseorang yang mendengarkan satu lagu lama kemungkinan besar akan menyukai lagu lama lainnya, menciptakan loop nostalgia yang berkelanjutan.
Berbeda dengan masa lalu di mana orang harus membeli lagu dalam bentuk fisik, platform streaming memiliki akses tak terbatas ke seluruh katalog musik dunia hanya dengan satu biaya berlangganan. Ini membuat proses re-listening menjadi sangat mudah, cepat, dan low-commitment. Album yang dulunya sulit orang cari di toko kaset kini hanya perlu satu klik.
Kesimpulan
Kebangkitan musik 90-an dan 2000-an adalah perpaduan sempurna antara kebutuhan emosional manusia dan efisiensi teknologi. Nostalgia telah menjadi komoditas yang berharga, di mana platform streaming bertindak sebagai mesin waktu yang nyaman. Fenomena ini menunjukkan bahwa lagu-lagu terbaik melampaui waktu, dan di tengah keramaian dunia modern, kita selalu menemukan ketenangan di dalam melodi masa lalu.

